Jumat, 21 Desember 2012

Persoalan Pendidikan Bagi Orang Desa


Sebagian besar orang desa menganggap orang kota hidup lebih enak. Ekonomi, pendidikan, fasilitas, dan di segala aspek mereka dianggap lebih maju. Begitu juga dengan orang Kota, mengganggap orang dari desa hidup dengan segala keterbatasan, pendidikan rendah, ekonomi lemah, tidak berdaya, miskin dan terbelakang. Itu memang terjadi.
Jebakan Kemiskinan
Masyarakat di desa memang benar-benar dalam posisi terjebak. Kemiskinan dan ketidak tahuan menjadikan mereka selalu di nilai terbelakang. Kita sepakat, pendidikan adalah salah satu cara ampuh untuk keluar dari kemiskinan. Ternyata untuk mengakses itu, orang-orang desa yang mayoritas petani masih belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Untuk masuk ke sebuah sekolah baru, SMA misalnya : Petani harus menyiapkan uang pendaftaran hingga Rp. 500.000; belum termasuk uang gedung, seragam, buku, sumbangan-sumbangan lain. Lagi-lagi kembali ke persoalan ‘Miskin’.
Akses pendidikan murah memang sudah ada, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Sesuai peraturan Mendiknas nomor 69 tahun 2009, Pemerintah memberikan Bantuan operasional kepada sekolah, agar setiap sekolah membebaskan biaya pendidikan kepada siswanya. Namun dalam praktiknya, sekolah masih saja memungut biaya kepada muridnya. Biaya sumbangan contohnya bahkan tidak sedikit oknum pelaksana pendidikan yang menggunakan dana tidak pada semestinya sehingga semangat awal memberikan pendidikan murah pada masyarakat Indonesia itu hanya menjadi isapan jempol belaka.
Indikator Yang Tidak Adil
Persoalan pendidikan bagi masyarakat desa tidak berhenti disitu. Selama ini sistem yang sedang berjalan belum mempunyai indikator yang jelas. Contoh kasusnya adalah : Ujian Nasional, untuk menentukan pintar dan tidaknya sebagai persyaratan kelulusan hasil studi di sekolah, selama tiga tahun, kelulusan siswa hanya di tentukan oleh Tiga mata pelajaran. Siswa dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah setelah berhasil mengerjakan soal-soal mata pelajaran UN. Padahal, kemampuan siswa sering di temukan di luar tiga mata pelajaran tersebut.
Paradigma dan Kemandirian Masyarakat
Saat ini, dunia kerja mensyaratkan calon tenaga kerjanya mempunyai Ijazah, Minimal D3 hingga S1. Syarat-syarat itu sebenarnya digunakan sebagai standart kemampuan SDM untuk bekerja di sebuah instansi atau perusahaan.  Syarat inilah yang akhirnya menjadi alat cetak pola fikir masyarakat, sekolah agar mendapatkan ijazah, lalu bekerja. Bila perlu, sekolah cepat agar segera mendapatkan ijazah lalu bekerja. Sehingga masyarakat melupakan kemampuan dan bakat sebenarnya yang ada di dalam setiap anaknya. Kondisi ini akan berakibat pada kemandirian generasi dan hanya akan membentuk generasi Indonesia sebagai buruh yang  selamanya akan bergantung pada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syalom...