Sebagian besar orang desa menganggap orang kota hidup
lebih enak. Ekonomi, pendidikan, fasilitas, dan di segala aspek mereka dianggap
lebih maju. Begitu juga dengan orang Kota, mengganggap orang dari desa hidup
dengan segala keterbatasan, pendidikan rendah, ekonomi lemah, tidak berdaya,
miskin dan terbelakang. Itu memang terjadi.
Jebakan Kemiskinan
Masyarakat di desa memang benar-benar dalam posisi
terjebak. Kemiskinan dan ketidak tahuan menjadikan mereka selalu di nilai
terbelakang. Kita sepakat, pendidikan adalah salah satu cara ampuh untuk keluar
dari kemiskinan. Ternyata untuk mengakses itu, orang-orang desa yang mayoritas
petani masih belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Untuk masuk ke
sebuah sekolah baru, SMA misalnya : Petani harus menyiapkan uang pendaftaran
hingga Rp. 500.000; belum termasuk uang gedung, seragam, buku,
sumbangan-sumbangan lain. Lagi-lagi kembali ke persoalan ‘Miskin’.
Akses pendidikan murah memang sudah ada, program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Sesuai peraturan Mendiknas nomor 69 tahun 2009,
Pemerintah memberikan Bantuan operasional kepada sekolah, agar setiap sekolah
membebaskan biaya pendidikan kepada siswanya. Namun dalam praktiknya, sekolah
masih saja memungut biaya kepada muridnya. Biaya sumbangan contohnya bahkan
tidak sedikit oknum pelaksana pendidikan yang menggunakan dana tidak pada
semestinya sehingga semangat awal memberikan pendidikan murah pada masyarakat
Indonesia itu hanya menjadi isapan jempol belaka.
Indikator Yang Tidak Adil
Persoalan pendidikan bagi masyarakat desa tidak berhenti
disitu. Selama ini sistem yang sedang berjalan belum mempunyai indikator yang
jelas. Contoh kasusnya adalah : Ujian Nasional, untuk menentukan pintar dan
tidaknya sebagai persyaratan kelulusan hasil studi di sekolah, selama tiga
tahun, kelulusan siswa hanya di tentukan oleh Tiga mata pelajaran. Siswa
dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah setelah berhasil mengerjakan soal-soal
mata pelajaran UN. Padahal, kemampuan siswa sering di temukan di luar tiga mata
pelajaran tersebut.
Paradigma dan Kemandirian Masyarakat
Saat ini, dunia kerja mensyaratkan calon tenaga kerjanya
mempunyai Ijazah, Minimal D3 hingga S1. Syarat-syarat itu sebenarnya digunakan
sebagai standart kemampuan SDM untuk bekerja di sebuah instansi atau
perusahaan. Syarat inilah yang akhirnya menjadi alat cetak pola fikir
masyarakat, sekolah agar mendapatkan ijazah, lalu bekerja. Bila perlu, sekolah
cepat agar segera mendapatkan ijazah lalu bekerja. Sehingga masyarakat
melupakan kemampuan dan bakat sebenarnya yang ada di dalam setiap anaknya.
Kondisi ini akan berakibat pada kemandirian generasi dan hanya akan membentuk generasi
Indonesia sebagai buruh yang selamanya akan bergantung pada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar