Rabu, 09 Januari 2013

Pentingnya pendidikan politik menghadapi politik identitas menuju hajatan demokrasi 2013 dan 2014


Jika bicara tentang demokrasi di negeri ini, tentunya pikiran kita akan lansung terpola pada satu kata yang bernama 'kebebasam'. Ya, memang hal tersebut tidak salah karena pada hakekatnya "demokrasi secara lansung" dipahami sebagai 'kebebasan' berada ditangan rakyat untuk menyatakan pendapat dan memberikan suara terkait lahirnya sebuiah keputusan. Akan tetapi, bagaimana jika kebebasan tersebut menjadi kebablasan yang hanya akan melahirkan jatuhnya banyak korban jiwa, mengancam keutuhan Bangsa dan Negara?. Hal tersebut semakin diperparah dengan status Bangsa ini yang berdiri dari berbagai keberagaman suku, ras, agama, budaya, dan lain sebagainya yang mempermudah untuk memantik lahirnya sebuah peristiwa bernama konflik.
Sebagai salah satu contoh adalah isu presiden dari Jawa versus luar Jawa, partai Nasionalis versus partai Religius bahkan upaya untuk mengharamkan golput pun menjadi isu yang mudah dimaikan oleh para elit yang pandai dan gemar melakukan politik identitas. Hal tersebut juga tidak akan terlepas dari berbagai perilaku calon wakil rakyat yang sedang berusaha merebut kursi legislatif, mereka dengan mudahnya mengobrak-abrik berbagai cara untuk memuluskan ambisi pribadinya sehingga politik yang penuh intrik dan cenderung licik pun dipraktekkan. Biarkan yang lain meradang asalkan diriku menang, mungkin begitulah yang ada dipemikiran mereka akibatnya bukan hanya saling sikut elit antar partai yang terjadi tetapi saling sikut elit dalam satu partai pun tidak akan terelakkan.
Tentunya kita sepakat jika yang namanya kompetisi itu pasti ada yang menang dan ada yang kalah tapi tidak berarti bahwa yang menang harus membusungkan dada dan yang kalah harus memendam dendam berkepanjangan yang berujung pada tarik menarik kepentingan nantinya.
Untuk itu disinilah peran aktif dari Bawaslu, Panwaslu, KPU, MK, dan berbagai institusi penegak hukum lainnya diharapkan keberanian dan ketegasannya untuk menegakkan keadilan serta menindak tegas para elit politik yang telah keluar dari rel perpolitikan. Di sisi lain masih ada puhak sebenarnya yang dianggap mampu untuk memberantas politik identitas, mereka adalah pemuka agama atau pemuka masyarakat, hal tersebut didasarkan pada perilaku masyarakat Indonesia yang kelihatannya lebih patuh pada pemuka agama atau masyarakat ketimbang patuh pada aparat pemerintah sebab mereka beranggapan bahwa pemuka agama dan masyarakat adalah perpanjangan tangan Tuhan. Ironisnya, para pemuka agama dan masyarakat pun sudah tidak lagi bebas dari belenggu intrik para elit, mereka sudah sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh elit guna memuluskan ambisi pribadinya tadi.
Sehingga setegas dan semahir apapun para penegak hukum dan konstitusi dalam menjalankan perannya, secerdik dan selicik apapun para elit dalam memanfaatkan para pemuka agama dan masyarakat, mungkin tidak akan berpengaruh jika masyarakat kita telah cerdas dan cermat dalam memilih.
Pertanyaannya, sudah secerdas apa masyarakat Indonesia dalam menghadapi hajatan demokrasi 2013 dan 2014 ? Jangankan tingkat kecerdasan masyarakat awam, tingkat kecerdasan para elitpun masih harus dipertanyakan karena masih terlihat kekanak-kanakan. Sebagai bukti, politik uang, politik diskriminasi, serta menggunakan isu kedaerahan, agama, suku, ras masih sering digunakan untuk memenangkan perlombaan.

Jelas, politik identitas masih ada di sekitar kita. Lantas, masihkah kita membiarkan terus  menyandera kebebasan kita dalam berdemokrasi ?

Salam :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syalom...