Kamis, 19 September 2013

Dosa di Desa

Pembangunan yang dilaksanakan selama hampir tiga dekade dalam konteks otonomi daerah ternyata belum mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang berdiam di daerah pedesaan. Terjadinya kesenjangan antara daerah pedesaan dan perkotaan disebabkan karena bias dan distorsi pembangunan yang lebih banyak berpihak kepada ekonomi perkotaan. Akibatnya adalah timbul desa-desa yang miskin dan terkebelakang. Desa seharusnya tidak boleh dipandang sebagai hal yang keberadaannya lebih rendah atau tidak sama dengan perkotaan, disisi lain karena desa merupakan lambung perekonimian kota tapi desa karena juga merupakan tempat bermukimnya setengah bagian lebih penduduk Indonesia.
Pemberdayaan desa yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah tak ubahnya memberikan permen kepada seorang bayi yang sedang menangis. Dalam artian bahwa program-program berbasis pedesaan yang sudah dijalankan sama sekali tidak menjawab atau tidak memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh desa, akan tetapi program-program tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga terlihat menarik bagi ‘orang desa’ dan tentunya menutup kesempatan bagi mereka untuk berontak sekalipun itu adalah hal yang tidak adil.
Desa sebagai wilayah administratif terkecil dibawah kecamatan tidak diatur dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN No. 25 Tahun 2004), hal ini memberikan kita sebuah pemahaman bahwa desa merupakan hal yang telah didisentralisasikan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah.  Akan tetapi realitas otonomi daerah seolah menjadi legitimasi bagi kepala daerah yang sedang berkuasa agar hanya pandai dalam tataran makro saja tanpa perlu memperhatikan hal-hal kecil lain yang dibawah sekalipun itu berperan vital terhadap kebijakan makro yang ia janjikan selama proses kampanye. Hal ini tercermin dari sistem pemerintahan desa terkhususnya dalam era otonomi daerah sekarang ini, bahwa siapa saja boleh menjadi kepala desa asal sudah ‘sejalan’ dengan kepala daerah sehingga tua-tua adat pun berlomba-lomba menjadi kepala desa sekalipun hanya mengantongi ijazah SLTP sebagai syarat dasar bakal calon kepala desa. Dalam hal ini ada beberapa yang terlepas dari perhatian apatur pemerintah yang secara sektoral memiliki garis komando dan juga koordinasi dengan desa. Pertama, desa merupakan sumbernya demokrasi, sumbernya kearifan lokal dan juga sebagai sumber pangan, oleh karenanya kapasitas kepala desa harus benar-benar diperhatikan agar berbagai daerah pedesaan dapat siuman akan potensi dan sumber daya yang dimilikinya. Kedua, para tokoh adat tidak dapat diplot menjadi seorang kepala desa, tokoh adat hanya berkapasitas tentang adat dan jika dipaksakan menjadi kepala desa atas dasar kepentingan Mr. X yang ada diatasnya, maka masyarakat desa tentunya akan kehilangan panutan serta berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan vertikal secara liar dalam kehidupan masyakat.
Dibutuhkan sebuah kebijakan bijak jika kita telah sepakat bahwa pembangunan yang baik harus dimulai dari bawah. Desaharus segera dibenahi agar pelaksanaan otonomi tidak hanya sekedar isapan jempol belaka.



Adhy Pabala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syalom...