Pembangunan yang
dilaksanakan selama hampir tiga dekade dalam konteks otonomi daerah ternyata
belum mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang berdiam
di daerah pedesaan. Terjadinya kesenjangan antara daerah pedesaan dan perkotaan
disebabkan karena bias dan distorsi pembangunan yang lebih banyak berpihak
kepada ekonomi perkotaan. Akibatnya adalah timbul desa-desa yang miskin dan
terkebelakang. Desa seharusnya tidak boleh dipandang sebagai hal yang
keberadaannya lebih rendah atau tidak sama dengan perkotaan, disisi lain karena
desa merupakan lambung perekonimian kota tapi desa karena juga merupakan tempat
bermukimnya setengah bagian lebih penduduk Indonesia.
Pemberdayaan desa
yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah tak ubahnya memberikan permen
kepada seorang bayi yang sedang menangis. Dalam artian bahwa program-program berbasis
pedesaan yang sudah dijalankan sama sekali tidak menjawab atau tidak memberikan
solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh desa, akan tetapi program-program tersebut
dikemas sedemikian rupa sehingga terlihat menarik bagi ‘orang desa’ dan tentunya
menutup kesempatan bagi mereka untuk berontak sekalipun itu adalah hal yang
tidak adil.
Desa sebagai wilayah
administratif terkecil dibawah kecamatan tidak diatur dalam UU Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN No. 25 Tahun 2004), hal ini memberikan kita sebuah
pemahaman bahwa desa merupakan hal yang telah didisentralisasikan oleh
pemerintah kepada pemerintah daerah. Akan
tetapi realitas otonomi daerah seolah menjadi legitimasi bagi kepala daerah yang
sedang berkuasa agar hanya pandai dalam tataran makro saja tanpa perlu
memperhatikan hal-hal kecil lain yang dibawah sekalipun itu berperan vital
terhadap kebijakan makro yang ia janjikan selama proses kampanye. Hal ini
tercermin dari sistem pemerintahan desa terkhususnya dalam era otonomi daerah
sekarang ini, bahwa siapa saja boleh menjadi kepala desa asal sudah ‘sejalan’
dengan kepala daerah sehingga tua-tua adat pun berlomba-lomba menjadi kepala
desa sekalipun hanya mengantongi ijazah SLTP sebagai syarat dasar bakal calon
kepala desa. Dalam hal ini ada beberapa yang terlepas dari perhatian apatur
pemerintah yang secara sektoral memiliki garis komando dan juga koordinasi
dengan desa. Pertama, desa merupakan
sumbernya demokrasi, sumbernya kearifan lokal dan juga sebagai sumber pangan,
oleh karenanya kapasitas kepala desa harus benar-benar diperhatikan agar
berbagai daerah pedesaan dapat siuman akan potensi dan sumber daya yang
dimilikinya. Kedua, para tokoh adat tidak
dapat diplot menjadi seorang kepala desa, tokoh adat hanya berkapasitas tentang
adat dan jika dipaksakan menjadi kepala desa atas dasar kepentingan Mr. X yang
ada diatasnya, maka masyarakat desa tentunya akan kehilangan panutan serta
berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan vertikal secara liar dalam
kehidupan masyakat.
Dibutuhkan sebuah
kebijakan bijak jika kita telah sepakat bahwa pembangunan yang baik harus
dimulai dari bawah. Desaharus segera dibenahi agar pelaksanaan otonomi tidak
hanya sekedar isapan jempol belaka.
Adhy Pabala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar