Rabu, 18 September 2013

Politik dan Pencitraan

Seorang filsuf berkebangsaan Jerman Friedrich Nietzhe pernah berucap “Tuhan telah mati”. Kini dalam nada yang hampir sama, Anas Urbaningrum yang naik ke podium dan mengucap “pencitraan telah mati”. Anas memang tidak mengucapkan itu secara verbal, namun secara tersirat, “sang pangeran biru” itu pastinya tidak akan menyangkalnya. Pencitraan disini adalah pola kampanye yang hanya mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan kaki ke tanah. Kemenangan Anas, sekaligus membuktikan bahwa suara arus bawah tidak goyah dikepung oleh iklan-iklan politik. Rival terberatnya adalah Marzuki Ali, senior dan sekaligus ketua DPR. Namun, sekali lagi, faktor senioritas juga tidak mampu membendung laju kemenangan Anas Urbaningrum. Anas Urbaningrum (AU), dalam putaran kedua pemilihan ketum Partai Demokrat ini, berhasil mengumpulkan 280 suara.
Keberadaan Andi Malaranggeng sebagai calon ketua umum yang digadang-gadang mendapat dukungan lansung dari ketua pembina partai demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dapat berbuat banyak menghadapi ‘gempuran’ Anas Urbaningrum dalam perbutan kursi ketua umum.  Cerita kemanangan Anas Urbaningrum dalam kongres partai demokrat yang berlansung di kota kembang tersebut seolah memberikan gambaran kepada kita bahwa, jika ingin berhasil di dunia politik maka tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus turun ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan menanam persepsi yang sama tentang visi dan misinya. 
Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi Perancis mengatakan bahwa, media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu memproduksi kenyataan (realitas) buatan, bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Teori Baudrillard mungkin masuk akal jika dihubungkan pada banyaknya iklan-iklan di televisi, radio, dan media cetak menampilkan tokoh-tokoh dengan bendera satu partai politik di belakangnya. Para tokoh politik memproduksi kenyataan buatan bermuatan politis agar mendapatkan dukungan di setiap pemilihan umum baik legislatif maupun eksekutif. Proses dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang sensitif dan populer di hadapan pemilih agar mendapatkan simpati.
Indonesia kini berada dalam detik-detik tahun Pemilu dan tentunya media sudah sangat ramai dengan iklan para elit politik yang sibuk menyampaikan serta memperbincangkan kapasitasnya yang kemudian akan dipilih lansung oleh rakyat. Satu hal yang harus selalu diingat oleh para elit adalah kenyataan bahwa rakyat Indonesia bukanlah segerombolan orang bodoh yang bisa terbuai dengan janji manis diatas podium kampanye, dan kenyataan lain bahwa membunuh seekor nyamuk tidak perlu gunakan bom nuklir.

Adhy Pabala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syalom...