Seorang filsuf berkebangsaan Jerman Friedrich
Nietzhe pernah berucap “Tuhan telah mati”. Kini dalam nada yang hampir sama,
Anas Urbaningrum yang naik ke podium dan mengucap “pencitraan telah mati”. Anas
memang tidak mengucapkan itu secara verbal, namun secara tersirat, “sang
pangeran biru” itu pastinya tidak akan menyangkalnya. Pencitraan disini adalah
pola kampanye yang hanya mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan
kaki ke tanah. Kemenangan Anas, sekaligus membuktikan bahwa suara arus bawah tidak
goyah dikepung oleh iklan-iklan politik. Rival terberatnya adalah Marzuki Ali,
senior dan sekaligus ketua DPR. Namun, sekali lagi, faktor senioritas juga
tidak mampu membendung laju kemenangan Anas Urbaningrum. Anas Urbaningrum (AU),
dalam putaran kedua pemilihan ketum Partai Demokrat ini, berhasil mengumpulkan
280 suara.
Keberadaan Andi Malaranggeng sebagai calon ketua umum yang
digadang-gadang mendapat dukungan lansung dari ketua pembina partai demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dapat berbuat banyak menghadapi ‘gempuran’
Anas Urbaningrum dalam perbutan kursi ketua umum. Cerita kemanangan Anas Urbaningrum dalam
kongres partai demokrat yang berlansung di kota kembang tersebut seolah
memberikan gambaran kepada kita bahwa, jika ingin berhasil di dunia
politik maka tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus turun
ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan menanam persepsi yang sama
tentang visi dan misinya.
Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi Perancis mengatakan bahwa,
media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu memproduksi kenyataan
(realitas) buatan, bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan
kita. Teori Baudrillard mungkin
masuk akal jika dihubungkan pada banyaknya iklan-iklan di televisi, radio, dan
media cetak menampilkan tokoh-tokoh dengan bendera satu partai politik di
belakangnya. Para tokoh politik memproduksi kenyataan buatan bermuatan politis
agar mendapatkan dukungan di setiap pemilihan umum baik legislatif maupun
eksekutif. Proses dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang
sensitif dan populer di hadapan pemilih agar mendapatkan simpati.
Indonesia kini berada dalam detik-detik tahun Pemilu dan tentunya media
sudah sangat ramai dengan iklan para elit politik yang sibuk menyampaikan serta
memperbincangkan kapasitasnya yang kemudian akan dipilih lansung oleh rakyat. Satu
hal yang harus selalu diingat oleh para elit adalah kenyataan bahwa rakyat
Indonesia bukanlah segerombolan orang bodoh yang bisa terbuai dengan janji
manis diatas podium kampanye, dan kenyataan lain bahwa membunuh seekor nyamuk
tidak perlu gunakan bom nuklir.
Adhy Pabala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar